Salah satu tradisi agung yang diwariskan Muhammad Saw adalah ber-tahannuts, atau biasa diartikan sebagai tabarrur, melakukan perbuatan bajik (birr) dengan memberi makan fakir miskin, atau ta‘abbud (beribadah), atau keduanya, yakni tabarrur dan ta‘abbud. Selama dalam tahannuts, Nabi Muhammad melakukan renungan-renungan mendalam.
Yang direnungkannya tidak diragukan lagi adalah masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan Pemelihara alam semesta, serta tentang ciptaan-Nya –khususnya masalah-masalah kemasyarakatan manusia: disparitas sosio-ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang eksploitatif dan amoral, serta cara penghamburan kekayaan yang tidak bertanggungjawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin dalam praktek masyarakat Quraisy.
Proses batiniah pengalaman religio-moral tersebut mencapai puncaknya pada suatu malam –belakangan dirayakan kaum Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr)– ketika ia sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira. Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan. Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad merasa pasif secara total. Dan pada saat itulah, wahyu pertama (Al-‘Alaq:1-5) ditanam ke dalam jiwanya yang paling dalam. Cahaya (nûr) ketuhanan tertancap dalam batinnya. Dan pada saat itulah, kedirian Muhammad terlebur. Ia pun berubah menjadi sosok manusia sempurna (insân kâmil) yang mengerti hakekat hidup dan kehidupan sejati.
Pertanyaannya, sampai hari ke-10 Ramadhan ini, sudahkah semangat ber-tahannuts (tabarrur dan ta’abbud) -warisan dan ajaran Nabi itu- termanifestasi dalam diri dan keseharian kita? Wallahu A’lam.
Oleh: M. Ulinnuha, Lc, MA.
Yang direnungkannya tidak diragukan lagi adalah masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan Pemelihara alam semesta, serta tentang ciptaan-Nya –khususnya masalah-masalah kemasyarakatan manusia: disparitas sosio-ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang eksploitatif dan amoral, serta cara penghamburan kekayaan yang tidak bertanggungjawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin dalam praktek masyarakat Quraisy.
Proses batiniah pengalaman religio-moral tersebut mencapai puncaknya pada suatu malam –belakangan dirayakan kaum Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr)– ketika ia sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira. Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan. Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad merasa pasif secara total. Dan pada saat itulah, wahyu pertama (Al-‘Alaq:1-5) ditanam ke dalam jiwanya yang paling dalam. Cahaya (nûr) ketuhanan tertancap dalam batinnya. Dan pada saat itulah, kedirian Muhammad terlebur. Ia pun berubah menjadi sosok manusia sempurna (insân kâmil) yang mengerti hakekat hidup dan kehidupan sejati.
Pertanyaannya, sampai hari ke-10 Ramadhan ini, sudahkah semangat ber-tahannuts (tabarrur dan ta’abbud) -warisan dan ajaran Nabi itu- termanifestasi dalam diri dan keseharian kita? Wallahu A’lam.
Oleh: M. Ulinnuha, Lc, MA.
0 comments:
Posting Komentar