Prestasi Dj’afar makin pun meningkat. Kemudian dia dikirim ke Bandung. Setelah itu dia dipindahkan ke ke Sumatera untuk menyelesaikan proyek pembangunan stasiun di sana. Selesai di Sumatera, ia harus berpindah lagi ke Ibukota untuk proek pembangunan Instalasi Kereta Api Listrik (KRL) Jabotabek.
Sekitar setahun lamanya, pekerjaan sebagai konsultan Perusahaan Kereta Api dijalankannya dengan baik dan sungguh-sungguh. Namun, karena beberapa hal yang kurang sreg dengan nuraninya, dia memutuskan keluar.
Lewat seorang teman, Dja’far ditawari masuk Lembaga Pendidikan Al-Azhar, Jakarta, yang membutuhkan tenaga pengajar. “Lagi-lagi karena kolega, saya mendapatkan pekerjaan ini,” ujarnya seakan mengingatkan pentingnya teman dalam kelanjutan karier seseorang.
Dari pekerjaan mengajar waktu itu, Dja’far digaji Cuma 87 ribu/bulan. Jika dipotong uang kos yang 75 ribu/bulan, betapa minim penghasilannya bila dibandingkan dengan pekerjaannya sebelumnya. Akan tetapi, profesi mengajar ini dijalankannya dengan sungguh-sungguh. Apalagi ia seperti dipertemukan kembali dengan dunianya. Dalam pikiran Dja’far saat itu hanyalah bagaimana mengamalkan apa yang dia miliki dan ketahui. Tidak lagi dia memikirkan gaji yang diterima. Dia berkeyakinan, jika dia mengerjakan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil yang berkualitas dan setelah itu barulah orang lain yang akan melihatnya. Beliau mengutip firman Allah SWT: “Dan berbuatlah, niscaya Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman akan melihatnya.”
Saat ini, di Al-Azhar, Dja’far menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Perencanaan Pengembangan Pegawai, yang bertugas merekrut pegawai, mengembangkan SDM pegawai, dan menata karier pegawai.
Di samping itu, kesibukannya yang lain adalah sebagai trainer dan konsultan pada berbagai proyek di beberapa departemen Pemerintah. Menulis juga menjadi salah satu aktivitas sampingan beliau. Walaupun belum ada yang diterbitkan dalam bentuk buku, beberapa naskahnya bahkan telah difilmkan. Di antaranya adalah skenario yang difilmkan oleh Organisasi Buruh Dunia (ILO) sebagai bahan training bagi para buruh. Beberapa naskah lainnya juga pernah difilmkan oleh Depnaker dan Kepolisian sebagai bahan pelatihan kepegawaian di departemen masing-masing. Pernah pula beliau merancang kurikulum pelatihan untuk kepala sekolah.
Kini, sejumlah obsesi masih menggantung di benak Dja’far. Pendidik yang tinggal di Depok ini berharap suatu saat ia dapat menciptakan lembaga pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak kurang mampu. Sekolah berkualitas tanpa dipungut biaya. (Yamboo)
(tulisan ini pernah dimuat di buletin Al-Washiyyah edisi April 2006)