web 2.0

Kamis, 16 Oktober 2008

Anak WASIAT Jadi Surveyor LSI

Aktivitas teman-teman WASIAT makin beragam saja. Setelah beberapa waktu—pertama kali dalam sejarah—ada yang masuk di Resimen Mahasiswa (MENWA), kemarin saya mendengar bahwa Abrohul Isnaini dan Majius Sulthoni menjadi surveyor untuk Lembaga Survey Indonesia (LSI). Survey itu dilakukan untuk mendapatkan hasil quick count pada Pilkada Bupati Serang, Banten.
Menurut Sulthon, dia bersama Rohul dan salah seorang temannya, kebagian tugas untuk merekap hasil pemungutan suara di kecamatan Lebak. Walaupun masih buta dengan dengan daerah Lebak, mereka yakin dapat melaksanakan tugas pertama ini dengan baik. Kita tunggu dan doakan saja.
Untuk satu kecamatan itu, mereka mendapatkan biaya transport sebesar 150 ribu/orang. Itu uang yang diberikan dimuka. Mereka mengaku, tidak tahu apakah akan ada uang tambahan setelah tugas tersebut selesai atau cukup uang itu saja. [KHO]

Angkot Ber-AC

Ada inovasi mengejutkan dalam dunia perangkotan di Jakarta. Kemarin (15/10/08), saya melihat sebuah angkot D 01 baru jurusan Ciputat—Kebayoran yang di dalamnya terdapat sebuah televisi. Layar mungil seperti layaknya dalam mobil-mobil pribadi itu terdapat di bagian depan, di samping sopir dan agak ke atas—tepatnta dekat cermin. Sehingga, dapat juga disaksikan oleh para penumpang di bangku belakang.
Saya yang kebetulan ada di bis kota di sampingnya—waktu jalanan agak macet—menyaksikan para penumpang yang tampak fokus mengarahkan pandangannya ke arah televisi. Mungkin ini adalah pengalaman baru yang mereka dapatkan. Adanya televisi ini mungkin bisa membantu mengurangi kejenuhan saat terjebak dalam kemacetan.
Sekitar 2 tahun yang lalu, sempat juga muncul inovasi unik. Yakni, memberi fasilitas AC pada angkot. Waktu itu, yang jadi “korban percobaan” adalah angkot 06 jurusan Kampung Melayu—Gandaria. Angkot-angkot terbaru, semuanya dilengkapi dengan AC. Pintu pun harus ditutup. Kacanya pun dibuat buram, sehingga situasi di dalam angkot tidak terlihat dari luar. Sebaliknya, penumpang dapat melihat keadaan di luar angkot dengan leluasa. Namun, inovasi seperti hanya berlangsung beberapa waktu. Setelah itu? Entah karena rusak atau karena penghasilan dari angkot ternyata tidak mencukupi untuk biaya perawatan AC, fasilitas “mewah” itu pun kembali dilepas.
Akankah hal serupa terjadi pada angkot D 01 jurusan Ciputat—Kebayoran ini? Kita tunggu saja perkembangannya. Yang pasti, usaha untuk memberi pelayanan yang lebih baik dan nyaman, patut kita dukung dan syukuri. [KHO]

WASIAT Adakan Seminar Nasional di PP TABAH Kranji

LAMONGAN—Wadah Silaturrahim Alumni Tarbiyatut Tholabah Kranji di Jakarta (WASIAT) mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi”. Acara yang dilaksanakan pada hari Kamis, 9 Oktober 2008 di Aula Tarbiyatut Tholabah itu sedianya akan dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA. Namun, karena beberapa hal, beliau berhalangan hadir.
Seminar pendidikan ini dibuka oleh Ibu Hj. Khofifah Indar Parawansa yang bertindak sebagai keynote speaker—menggantikan MENKOMINFO. Sebagai pembicara, hadir Dr. H. Amin Haedary, Direktur Pendidikan Pesantren DEPAG RI, yang menyampaikan materi dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Pesantren di Era Teknologi Informasi”, Drs. H. Andi Muawiyah Ramly, M.Pd., Sekretaris Umus Dewan Syuro DPP PKB, Direktur OPSI, dengan tema “Meningkatkan Mutu Pendidikan Pesantren Berbasis Pemberdayaan”.
Kemudian, Drs. H. Hamid Syarif, MA, Sekretaris Umum PP RMI, Purek I IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang menyampakan materi dengan tema “Mengembangkan Madrasah Diniyah di Era Teknologi Informasi”, dan Dr. Fathoni Rodli, MA, PP Maarif NU, yang menyampaikan materi dengan tema “Kesiapan Pesantren Menghadapi Era Teknologi Informasi Perspektif Sosio-Kultural”.
Sekitar 170 undangan yang berasal dari unsur Pimpinan Pesantren se-Pantura Jawa Timur, kalangan LSM, akademisi, dan mahasiswa memenuhi aula PP Tarbiyatut Tholabah. Para peserta tampak antusias dalam meyimak materi yang disampaikan oleh para pembicara.
Menurut Ketua Umum WASIAT, Moh. Shorih Al Kholid, kegiatan di PP Tarbiyatut Tholabah merupakan tradisi dua tahunan WASIAT. Program Pengurus WASIAT memang mencanangkan untuk melaksanakan acara besar di Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran setiap 2 tahun sekali, sebagai wujud pengabdian alumni Tarbiyatut Tholabah di yang Jakarta. Pada tahun-tahun sebelumnya, WASIAT rutin mengadakan acara berbentuk Tabligh Akbar ataupun seminar dengan menghadirkan tokoh-tokoh dari Ibukota.
Kholid, panggilan akrabnya, berharap seminar ini bisa menelurkan ide-ide kreatif untuk memberdayakan pesantren sebagai salah satu sistem pendidikan di Indonesia, mewujudkan kerja sama yang rapi antara pemerintah dan dan masyarakat dalam membangun pendidikan pesantren yang berbasis teknologi informasi, mencari gagasan terbaik untuk mewujudkan pendidikan pesantren yang dapat menjawab tuntutan global, dan mempererat hubungan antar-masyarakat pesantren khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya. [KHO]

WASIAT Adakan Seminar Nasional di PP TABAH Kranji

LAMONGAN—Wadah Silaturrahim Alumni Tarbiyatut Tholabah Kranji di Jakarta (WASIAT) mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi”. Acara yang dilaksanakan pada hari Kamis, 9 Oktober 2008 di Aula Tarbiyatut Tholabah itu sedianya akan dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA. Namun, karena beberapa hal, beliau berhalangan hadir.

Seminar pendidikan ini dibuka oleh Ibu Hj. Khofifah Indar Parawansa yang bertindak sebagai keynote speaker—menggantikan MENKOMINFO. Sebagai pembicara, hadir Dr. H. Amin Haedary, Direktur Pendidikan Pesantren DEPAG RI, yang menyampaikan materi dengan tema “Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Pesantren di Era Teknologi Informasi”, Drs. H. Andi Muawiyah Ramly, M.Pd., Sekretaris Umus Dewan Syuro DPP PKB, Direktur OPSI, dengan tema “Meningkatkan Mutu Pendidikan Pesantren Berbasis Pemberdayaan”.

Mengembangkan Pendidikan Diniyah di Masa Depan

Oleh: Drs. H. Hamid Syarif, MA*

Pada awalnya, para the founding father pondok pesantren; kiai, ulama, masyayikh, dan asatidz mendirikan atau membangun lembaga ini sebagai takhasus (secara khusus) untuk TAFAQQUH FIDDIN (pendalaman ilmu-ilmu keislaman) bagi masyarakat sekitar secara ikhlas dan istiqomah untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. Seiring dengan berkembangnya waktu, kehadiran pondok pesantren merupakan “kampung peradaban” di mana kehadirannya dalam suatu komunitas atau masyarakat, lambat laun mengakibatkan terjadinya perubahan kehidupan sosial di sekitarnya yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, pendidikan, sosial-budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Kiai sebagai pendiri, pemilik, dan figur sentral suatu pesantren—dengan berbekal ilmu-ilmu keislaman yang bersumber pada kitab-kitab kuning—memiliki kewajiban agamis untuk melanjutkan, meneruskan, dan menyebarluaskan risalah islamiyah agar tercipta dan terwujud manusia berakhlakul karimah yang pada muaranya akan membentuk masyarakat Muslim.
Dengan bermodalkan pesantrennya, para kiai/ulama telah memainkan peran sosial kulturalnya, sehingga lembaga ini mampu memperlihatkan eksistensi dan kebesaran pondok pesantren dalam perjalanan sejarahnya. Bahkan, para ahli sosila kebudayaan, seperti Geerzt, Hirokoshi, dan Dhofir mengemukakan bahwa para kiai telah memainkan peran menjadi pialang budaya (cultural broker) dan sebagai agen perubahan (agent of change) yang aktif selektif (mediator). Mereka juga berpendapat bahwa pesantren dan kiai bukanlah sesuatu yang stagnant (mandek), tapi berubah sejalan dengan budaya dari luar yang positif dan meninggalkan budaya yang negatif.
Pondok pesantren dipandang pula menjadi salah satu lembaga sosial independen alternatif dalam bidang etos ekonomi dan visi moral yang dipimpin kiai bagi suatu perubahan. Dengan berkembangnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, pesantren menyediakan layanan pendidikan Islam bagi para santrinya mulai dari Pendidikan Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Adanya varian pendidikan di lingkungan pesantren, menjadikan para santri memiliki pilihan pendidikan Islam sesuai dengan minat dan bakatnya. Ketika internal pesantren mengalami perubahan dalam bidang pendidikan, terjadi dua pola pendidikan; yakni pola pendidikan pesantren salafi (pesantren yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu keislaman) dan pola pendidikan pesantren khalafi (memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum).
Di Jawa Timur, pada tahun 1985, terjadi perubahan orientasi santri dalam kajian keilmuan di pesantren, di mana para santri dikhususkan mengkaji ilmu keagamaan sebesar 48,50% dan mengkaji ilmu keagamaan disertai ilmu pengetahuan dna ketrampilan sebesar 51,50%. Tahun 1995, para santri dikhususkan mengkaji ilmu agama 33,20% dan mengkaji ilmu agama disertai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan 66,80% (P3M, 1986, Suryadi 1997).
Adanya pergeseran dari sejumlah pesantren salafi ke pesantren khalafi, mengakibatkan terjadinya perubahan internal pesantren. Perubahan tersebut mengakibatkan munculnya problem-problem pada pesantren, dan dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas pendidikan pesantren. Dalam hal kuantitas artimya, seberapa banyak pesantren yang dapat bertahan pada watak aslinya sebagai institusi tafaqquh fiddin dan seberapa tinggi kualitas pengetahuan ilmu-ilmu keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab kuning yang dimiliki para santri.
Suatu perubahan pendidikan di lingkungan pesantren merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Namun demikian, suatu perubahan diharapkan tidak menyebabkan terjadinya degradasi kualitas pengetahuan ilmu-ilmu keagamaan di kalangan santri karena adanya regulasi pendidikan di luar pesantren.
Pendidikan madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kiai/ulama, asatidz, dan sejenisnya. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren. Sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan diniyah secara arif dalam merespons pemberlakuan PP tersebut.
Standardisasi pendidikan madrasah diniyah yang sedang akan diseminarkan ini merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Apapun bentuk atau pola standardisasi pendidikan madrasah diniyah yang akan diberlakukan, harus memperhatikan tiga pilar utama, sebagai berikut;
Pertama, pilar filosofis merupakan pilar yang dijadikan pijakan bahwa MADRASAH DINIYAH adalah FARDHU AIN untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidkan tafaqquh fiddin melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita, dan simbol keagungan dari pondok pesantren.
Kedua, pilar sosiologis adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniyah tidak berada dalam ruang kosong (vacuum space), tetqapi ia bagian dari sistem sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakatnya. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalamn agar eksistensi madrasah diniyah tidak sekadar sebagai pelengkap (supplement), tetapi diharapkan madrasah diniyah menjadi pilihan utama (primer) bagi masyarakat di mana pada saatnya madrasah diniyah ini setara kualitasnya dengan satuan pendidikan lainnya.
Terakhir, pilar yuridis merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya, jenis dan satuan pendidikan apapun harus tunduk pada regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan pendidikan. Peraturan Pemeriuntah Nomor 55 ini merupakan salah satu pijakan yuridis yang mengatur tentang keberadaan pendidikan madrasah diniyah formal dan pondok pesantren.
Dengan ketiga pilar di atas, pendidikan madrasah diniyah di satu pihak akan mampu mempertahankan watak aslinya (salafi) sebagai tafaqquh fiddin dan mampu mengakomodir tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan.
Di masa depan, pengelolaan dan pelaksanaan madrasah diniyah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membentuk Badan Hukum Pendidikan yang berbentuk “Yayasan Pendidikan Madrasah Diniyah” yang didaftarkan “Notaris”.
b. Menyusun jenjang pendidikan/satuan pendidikan:]
- Madrasah Diniyah Ula
- Madrasah Diniyah Wustho
- Madrasah Diniyah Ulya
c. Secara bertahap, menyiapkan tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualitas minimal diploma empat/DIV atau Strata Satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata pelajaran yang diajarkannya.
d. Diupayakan untuk mengetrapkan Draft Standard Kurikulum Madrasah Diniyah secara bertahap dan berkesinambungan.

* Sekretaris Umum PP RMI/Purek I IAIN Sunan Ampel Surabaya. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi” pada hari Kamis, 9 Oktober 2008 di Aula PP Tarbiyatut Tholabah Kranji.

Blog Archive

Popular Posts