web 2.0

Kamis, 16 April 2009

Catatan 3 Tahun Kiai Baqir; Bekal Apakah yang telah Kita Siapkan?

13 April lalu adalah tepat 3 tahun wafatnya sang guru, KH Moh Baqir Adelan. Kami, para alumni Tarbiyatut Tholabah Kranji di Jakarta, mengadakan tahlilan dan doa bersama untuk beliau. Tak terkira sebelumnya, antusias teman-teman Wasiat begitu besar dalam acara tersebut di tengah kesibukan masing-masing. Lokasi acara—di Asrama An-Nuur, penuh sampai di teras. 


Dalam undangan yang saya sebar pada anggota Wasiat via SMS, sengaja saya menggunakan redaksi "PEMBERITAHUAN", bukan "UNDANGAN" atau "MOHON KEHADIRAN". Saya ingin menyampaikan bahwa acara ini bukanlah "paksaan", tapi kerelaan.


Saya kemudian teringat kejadian 3 tahun yang lalu. Waktu itu, setelah Ashar, Nenq Aniq secara mendadak mengundang saya dan teman-teman Wasiat (via SMS) untuk mengikuti tahlilan dan doa bersama untuk Kiai Baqir. Acaranya setelah Ashar itu pula. Sangat mendadak. Saya bergegas berganti pakaian dan berangkat menuju lokasi. Waktu itu acaranya di Base Camp teman-teman JMQ (Organisasi para qori' dan qori'ah di IIQ dan PTIQ).

Sampai di tempat, beberapa teman Wasiat sudah datang dan menunggu acara dimulai. Beberapa saat kemudian, teman-teman Wasiat yang lainnya menyusul datang. Yang datang cukup banyak dan memenuhi Base Camp. Apalagi beberapa teman dari JMQ juga ikut hadir. Tahlilan pun dimulai dengan dipimpin oleh Moh. Bahrun Amiq (alumni Kranji yang sekarang menjadi dosen di UIN Malang). Suasana sendu menggayut mengiringi tahlilan.

Setelah tahlilan, acara ditutup dengan makan nasi kuning. Godo gedang pun tak ketinggalan berperan sebagai cuci mulut. Selepas itu, hujan deras mengguyur Ciputat.
Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah betapa besar 'kerelaan' yang ditempakkan teman-teman alumni Kranji. Undangan yang mendadak tidak menghalangi mereka untuk hadir di acara tersebut. Padahal, saya tahu—benar-benar tahu—ada di antara mereka yang sebenarnya sangat sibuk. Namun, mereka dapat langsung memenuhi "panggilan" mendoakan Kiai.

Yang jadi pertanyaan adalah; terus bagaimana dengan kita kelak. Saat telah berada dalam galian tanah yang sempit. Saat tak ada lagi yang dapat kita usahakan, selain amal perbuatan semasa hidup. Punyakah kita anak-anak yang shalih yang senantiasa mendoakan kita dan berinisiatif mendoakan kita. Masih adakah orang-orang di sekitar kita; sanak, saudara, teman, murid, atau tetangga yang ingat dengan kita dan rela mengalirkan sedekah atau doa untuk kita.

Berbeda dengan Sang Kiai. Beliau mempunyai tiga sumber yang tak akan berhenti mengalirkan kesejukan meskipun sudah tidak hidup di dunia lagi. Beliau sosok kaya yang demawan; sedekah jariyah. Ilmu beliau bermanfaat lewat pondok yang diasuh dan santri-santri yang menjadi orang-orang baik serta anak-anak beliau yang shalih, tidak akan berhenti menengadahkan tangan kepada Yang Maha Kuasa.

Sedang kita?
Apa yang kita punya?
Modal apakah yang telah kita investasikan, sehingga kita tinggal menunggu bunganya semasa hidup di dunia dan di alam kubur kelak?!

Ya, saat di dalam kubur, sendirianlah kita harus bertanggung jawab menghadapinya. Enak atau buruk. Tak ada lagi setan-setan yang terkutuk yang menawarkan wanita cantik, menggoda untuk rakus pada harta, jabatan dan kekuasaan. Tak akan ada. Setan pun tak akan merasa iba atas apa yang terjadi pada kita. Mereka justru akan bersorak-sorai mendapatkan kawan baru yang menemani di neraka.

Suatu saat nanti
Dalam kesendirian kita
Ketika tak ada kesempatan lagi
Untuk menambah amal dan ibadah kita
Masih adakah orang-orang yang sudi memanjatkan doa
Adakah anak-anak shalih
Yang meratap dalam sujud-sujud panjang; mendoakan
Agar dosa-dosa kita diampuni-Nya

Ciputat, 16 April 2009

0 comments:

Blog Archive

Popular Posts