M. Ulinnuha Husnan
Lailatul qadar adalah peristiwa luar biasa dan penuh misteri. Banyak
kejadian mahadahsyat yang berlangsung di malam itu. Salah satunya yang paling
fenomenal adalah proses penurunan Al-Quran kepada Nabi Muahammad Saw. Data-data
teologis dan historis merekam kejadian itu (lihat misalnya QS. Al-Qadr
[79]:1-5; QS. Ad-Dukhân [44]: 4-5), sehingga tak ada tempat bagi umat manusia
untuk meragukan atau bahkan mendustakannya.
Kemahadahsyatan lailatul qadar itu terlihat secara tekstual misalnya pada
kata lailatul qadr yang diulang sampai tiga kali dalam surat Al-Qadr.
Karena status dan kedudukannya yang begitu agung, tak berlebihan bila Rasul Saw
kerap memerintahkan kepada diri, keluarga dan umatnya agar selalu memperbanyak
amal saleh dan ibadah pada malam itu (lihat misalnya, hadis riwayat Bukhari
Muslim dari ‘Aisyah dan Abû Sa’îd al-Khudri).
Dalam konteks kekinian, sejatinya banyak hikmah, pesan dan pelajaran yang
dapat diambil dari peristiwa lailatul qadar. Pertama, lailatul qadar
mengajarkan kepada kita tentang pentingnya fungsi manajeman hidup yang -menurut
Henri Fayol (1841–1925 M)- meliputi perencaan (planning),
pengorganisasian (organizing), dan pengawasan (controlling) dan
evaluasi (evaluating). Pesan ini terinspirasi dari pemahaman atas makna
dasar term lailatul al-Qadr yang berarti malam penentuan bagian
(takdir). Menurut informasi Al-Qur’an, pada malam itulah Allah “merencanakan”,
“mengorganisasikan”, “mengawasi” sekaligus “mengevaluasi” tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) serta hak seluruh umat manusia. Inilah kesan yang tersirat
dari firman Allah; fîhâ yufraqu kullu amrin hakîm (di malam itu,
dijelaskan [kepada malaikat] tiap-tiap perkara yang mengandung hikmah) (QS.
Ad-Dukhan [44]: 4), dan kalimat min kulli amr (dari tiap-tiap perkara)
dalam QS. Al-Qadr [97]: 4.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pesan pertama ini
memberikan wejangan kepada para penguasa untuk mengatur bangsa ini secara
serius dalam semua lini kehidupan; pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan,
keamanan dan kebudayaan. Fungsi manajemen juga harus dilakukan dengan baik dan
maksimal, tidak sekadar formalitas dan dalam konteks menghabiskan anggaran.
Jika pesan pertama ini dilakukan dengan baik, niscaya huru-hara dan carut marut
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan pernah terjadi di negeri ini.
Kedua, mengatur (memanaj) hidup harus dilakukan secara periodik –minimal setahun
sekali- dan berkesinambungan. Pesan ini tersirat dari ayat tanazzalul
malâ’ikatu (QS. Al-Qadr [97]: 3). Menurut para mufasir, bentuk asli kata tanazalu
(turun temurun) adalah tatanazzlu, namun huruf tâ’ yang pertama
dibuang untuk memudahkan bacaan. Jika demikian, maka tatanazzalu adalah fi’il
mudhâri’ (present continuous tense), yang dalam kaedah bahasa Arab
mengandung makna kekinian (al-hâdhir) dan kontinuitas (al-istimrâr).
Dari pemahaman semacam ini, maka umat Islam dan seluruh lapisan bangsa,
sejatinya diajak untuk terus serius dan komitmen mengatur kehidupan umat dan
bangsa ini.
Ketiga, aturan, sistem dan manajemen yang ditetapkan harus berorientasi jangka
panjang dan untuk kebaikan bersama. Ini adalah kesan dari ayat khairun min
alfi syahrin (lebih baik dari seribu bulan) (QS. Al-Qadr [97]: 2). Jadi
selama sistem yang digunakan masih berbasis pada kepentingan sesaat, apalagi
kepentingan kelompok dan orang perorang, maka sistem itu tidak akan membawa
dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan ini.
Keempat, peristiwa yang terjadi pada lailatul qadar –khususnya nuzulul Qur’an-
mengajak kepada kita untuk me-nuzul-kan (menurunkan) Al-Qur’an ke dalam
relung jiwa dan seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun sosial kenegaraan.
Kata anzalnâ di awal surat Al-Qadr -yang menggunakan diksi anzala,
yang berbentuk fi’il mâdhî (past tense)- menunjukkan bahwa
penurunan Al-Qur’an ke dalam diri manusia itu harus dilakukan secara totalitas
dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, Al-Quran tidak lagi sekadar dirapal
secara kuantitatif, tapi jauh di atas itu adalah bagaimana Al-Quran dapat
berfungsi secara kualitatif pada hidup dan kehidupan ini. Berfungsi secara kualitatif
mengandaikan pembacaan dan pengkajian yang begitu mendalam, kontinyu,
terprogram dan pengejawantahan secara maksimal dalam keseharian.
Sementara me-nuzul-kan Al-Quran dalam konteks sosial kenegaraan
berarti menjadikannya sebagai basis utama dalam menentukan regulasi dan
kebijakan. Regulasi yang berbasis pada Al-Quran berarti regulasi yang pro
rakyat, pro kepentingan bangsa, pro kaum dhu’afa, fakir miskin dan marginal.
Kebijakan yang Qur’ani berarti kebijakan yang berorienstasi dan mengedepankan
nilai-nilai dasar, karakter dan jati diri kebangsaan, bukan pro asing, apalagi
tunduk dan patuh pada keinginan asing.
Kelima, peristiwa lailatul qadar juga mengajak kita untuk menyebarkan perdamaian
dan kedamaian (salâm). Perdamaian dan kedamaian itu harus terus
disebarkan umat Islam dan seluruh lapisan bangsa ini, hingga benar-benar
mewujud dalam kehidupan seru sekalian alam. Secara sufistik, term hattâ
mathla’il fajr (hingga terbit fajar) (QS. Al-Qadr [97]: 5) berarti hingga (perdamaian
dan kedamaian) itu termanifestasi dalam seluruh semesta alam, bagi semua
makhluk ciptaan Tuhan, tanpa melihat perberdaan latarbelakang dan status
sosial. Kata fajr di akhir ayat itu juga mengisyaratkan kedamian,
kesejukan, keindahan dan kesentosaan. Carut marut kehidupan di berbagai belahan
bumi Islam, khususnya di Indonesia belakangan ini, adalah bentuk penodaan
terhadap visi salâm (perdamaian dan kedaiaman) yang dititahkan Tuhan
dalam Al-Quran.
Dengan demikian, lailatul qadar bukanlah sekadar peristiwa biasa yang layak
diperingati secara seremonial, tapi jauh di atas itu, lailatul qadar adalah
peristiwa adiluhung dimana masa depan hidup dan kehidupan manusia ditentukan.
Maka tak ada pilihan lain bagi kita semua, khususnya umat Islam Indonesia,
kecuali menyebarkan perdamaian dan kedamaian di negeri ini. Tentu harus diawali
dengan pemahaman yang mendalam dan semangat mencari serta mengisi malam
lailatul qadar dengan amal saleh dan ibadah-ibadah individual maupun sosial. Wallahu
A’lam.[]
*Telah dimuat di Harian Republika, Rabu (31/7/13), Rubrik Opini, hlm. 6
0 comments:
Posting Komentar