web 2.0

Rabu, 21 Mei 2008

50 Tahun Bapak

Tulisan ini ditulis dalam rangka ULANG TAHUN Bapak yang ke-50. Banyak hal yang menjadi kenangan saya dengan Bapak. Semoga tulisan ini menjadi saksi betapa cinta saya kepada Bapak begitu besar.

Maen Catur Tiap Sore

Hal yang paling saya ingat dari Bapak adalah: waktu kecil, hampir tiap sore Bapak selalu ngajak saya bermain catur. Biasanya kami duduk berdua di emperan rumah setelah Ashar sambil menunggu saat shalat Maghrib tiba. Dalam permainan catur, dulu Bapak
sangat jago. Saya dan bapak pun saling mengalahkan. Kami bahkan berjanji untuk membalas kekalahan di hari berikutnya. Karena kebiasaan ini, saya menjadi pecatur yang hebat di desa saya. Hanya saja, waktu itu saya tidak punya lawan tanding. Maklumlah, waktu itu di desa saya permainan catur masih sangat asing. Bahkan, yang punya papan catur pun mungkin bisa dihitung.

Itulah, saya kemudian berinisiatif mencari ‘lawan’. Saya mengajak teman-teman sebaya saya bermain bersama. Awalnya, tentu saja saya yang mengajari mereka cara bermain catur. Hampir tiap siang, sepulang sekolah, teman-teman saya itu selalu berkumpul di rumah saya untuk bermain catur. Saking banyaknya anak yang mengantre untuk bermain, saya terpaksa harus mengalah untuk tidak ikut maen. Apalagi saya bukan lawan tanding yang sepadan bagi mereka.

Saya pun hanya sesekali ikut bermain. Biasanya saya cuma melihat strategi permainan dan atau memberi arahan cara bermain. Lama-lama saya semakin jarang bermain catur. Hingga akhirnya ada salah seorang teman saya yang paling jago, berhasil mengalahkan saya dalam pertandingan catur. Saat itulah saya merasa sangat terpukul. Setelah selama bertahun-tahun saya yang mengajari mereka dan tidak terkalahkan, akhirnya saya justru saya tumbang di tangan ‘murid’ saya sendiri.

Seakan masih belum bisa menerima, saya semakin jarang ikut bermain. Teman-teman saya yang tiap hari bermain, permainannya pun semakin berkembang. Hingga kualitas kami semua menjadi sepadan. Kami saling menang dan mengalahkan.

Rumah; “Kawah Candradimuka” Saya

Masa kecil saya, lebih banyak saya habiskan di rumah. Bapak menjadikan rumah ini sebagai tempat menggodok saya sebelum melepas di kemudian hari. Saya dilarang bermain jauh keluar desa, dilarang bermain sampai malam, dan dilarang bermain dengan anak-anak yang ‘nakal’.

Saya kerap kali iri melihat teman-teman yang begitu bebas bisa ke sana kemari (meski pulangnya juga dimarahi orangtuanya, hehehe). Sekolah pun saya tidak pernah jauh. Sejak kecil, lepas dari TK di desa saya dan sempat mencicipi kelas 1 MI, Bapak memasukkan saya ke sebuah sekolah yang terletak di desa tetangga. Di sekolah itulah, Bapak mengajar. Sekolah itu lebih besar, lebih banyak muridnya, dan tentu saja lebih baik secara kualitas daripada sekolah di desa saya.

Saya menghabiskan sekolah saya di tempat itu hingga lulus MAK. Saat lulus MTs, sekali lagi, saya iri melihat teman-teman saya yang meneruskan sekolah tingkat SMU-nya di sekolah-sekolah ‘besar’ di beberapa kota di Jawa Timur. Ada yang di Surabaya, Kediri, Jombang, Gresik, dan lain-lain. Tapi, Bapak tetap bertahan dengan tidak ikut-ikutan menyekolahkan saya keluar.

Walaupun begitu, Bapak pernah menyuruh saya untuk mencoba mendaftar di SMAN 1 Gresik. Sekolah ini merupakan sekolah favorit di kota Gresik. Sayang sekali, NEM saya tidak mampu menembus karena banyak pendaftar yang memiliki NEM lebih tinggi. Namun, saya sekarang bersyukur dulu tidak masuk ke sekolah tersebut. Mungkin cerita hidup saya akan berubah jika saya diterima di sekolah tersebut. Tapi, saya justru sangat bersyukur tidak diterima di sekolah itu. Saya malah berpikir apa jadinya saya sekarang? Padahal waktu itu saya masih belum siap dengan pergaulan ‘bebas’ di sana.

Nah, selepas lulus MAK itulah, Bapak saya mulai ‘melepas’ saya. Ketika teman-teman saya yang dulunya sekolah di kota-kota lain (di Jawa Timur), meneruskan kuliahnya juga di kota-kota di Jawa Timur, saya justru paling jauh sendiri. Ke Jakarta. Dan, pada saat itulah, saya akui saya benar-benar sudah siap menghadapi tantangan di Jakarta yang kata banyak orang, tantangannya jauh lebih besar daripada di kota-kota lainnya. “Kawah Candradimuka” yang dibangun Bapak di rumah, alhamdulillah berhasil.

0 comments:

Blog Archive

Popular Posts