web 2.0

Kamis, 16 Oktober 2008

Mengembangkan Pendidikan Diniyah di Masa Depan

Oleh: Drs. H. Hamid Syarif, MA*

Pada awalnya, para the founding father pondok pesantren; kiai, ulama, masyayikh, dan asatidz mendirikan atau membangun lembaga ini sebagai takhasus (secara khusus) untuk TAFAQQUH FIDDIN (pendalaman ilmu-ilmu keislaman) bagi masyarakat sekitar secara ikhlas dan istiqomah untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. Seiring dengan berkembangnya waktu, kehadiran pondok pesantren merupakan “kampung peradaban” di mana kehadirannya dalam suatu komunitas atau masyarakat, lambat laun mengakibatkan terjadinya perubahan kehidupan sosial di sekitarnya yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, pendidikan, sosial-budaya, ekonomi, dan sebagainya.
Kiai sebagai pendiri, pemilik, dan figur sentral suatu pesantren—dengan berbekal ilmu-ilmu keislaman yang bersumber pada kitab-kitab kuning—memiliki kewajiban agamis untuk melanjutkan, meneruskan, dan menyebarluaskan risalah islamiyah agar tercipta dan terwujud manusia berakhlakul karimah yang pada muaranya akan membentuk masyarakat Muslim.
Dengan bermodalkan pesantrennya, para kiai/ulama telah memainkan peran sosial kulturalnya, sehingga lembaga ini mampu memperlihatkan eksistensi dan kebesaran pondok pesantren dalam perjalanan sejarahnya. Bahkan, para ahli sosila kebudayaan, seperti Geerzt, Hirokoshi, dan Dhofir mengemukakan bahwa para kiai telah memainkan peran menjadi pialang budaya (cultural broker) dan sebagai agen perubahan (agent of change) yang aktif selektif (mediator). Mereka juga berpendapat bahwa pesantren dan kiai bukanlah sesuatu yang stagnant (mandek), tapi berubah sejalan dengan budaya dari luar yang positif dan meninggalkan budaya yang negatif.
Pondok pesantren dipandang pula menjadi salah satu lembaga sosial independen alternatif dalam bidang etos ekonomi dan visi moral yang dipimpin kiai bagi suatu perubahan. Dengan berkembangnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat, pesantren menyediakan layanan pendidikan Islam bagi para santrinya mulai dari Pendidikan Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Adanya varian pendidikan di lingkungan pesantren, menjadikan para santri memiliki pilihan pendidikan Islam sesuai dengan minat dan bakatnya. Ketika internal pesantren mengalami perubahan dalam bidang pendidikan, terjadi dua pola pendidikan; yakni pola pendidikan pesantren salafi (pesantren yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu keislaman) dan pola pendidikan pesantren khalafi (memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum).
Di Jawa Timur, pada tahun 1985, terjadi perubahan orientasi santri dalam kajian keilmuan di pesantren, di mana para santri dikhususkan mengkaji ilmu keagamaan sebesar 48,50% dan mengkaji ilmu keagamaan disertai ilmu pengetahuan dna ketrampilan sebesar 51,50%. Tahun 1995, para santri dikhususkan mengkaji ilmu agama 33,20% dan mengkaji ilmu agama disertai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan 66,80% (P3M, 1986, Suryadi 1997).
Adanya pergeseran dari sejumlah pesantren salafi ke pesantren khalafi, mengakibatkan terjadinya perubahan internal pesantren. Perubahan tersebut mengakibatkan munculnya problem-problem pada pesantren, dan dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas pendidikan pesantren. Dalam hal kuantitas artimya, seberapa banyak pesantren yang dapat bertahan pada watak aslinya sebagai institusi tafaqquh fiddin dan seberapa tinggi kualitas pengetahuan ilmu-ilmu keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab kuning yang dimiliki para santri.
Suatu perubahan pendidikan di lingkungan pesantren merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Namun demikian, suatu perubahan diharapkan tidak menyebabkan terjadinya degradasi kualitas pengetahuan ilmu-ilmu keagamaan di kalangan santri karena adanya regulasi pendidikan di luar pesantren.
Pendidikan madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kiai/ulama, asatidz, dan sejenisnya. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang, karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren. Sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan diniyah secara arif dalam merespons pemberlakuan PP tersebut.
Standardisasi pendidikan madrasah diniyah yang sedang akan diseminarkan ini merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Apapun bentuk atau pola standardisasi pendidikan madrasah diniyah yang akan diberlakukan, harus memperhatikan tiga pilar utama, sebagai berikut;
Pertama, pilar filosofis merupakan pilar yang dijadikan pijakan bahwa MADRASAH DINIYAH adalah FARDHU AIN untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidkan tafaqquh fiddin melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita, dan simbol keagungan dari pondok pesantren.
Kedua, pilar sosiologis adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniyah tidak berada dalam ruang kosong (vacuum space), tetqapi ia bagian dari sistem sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakatnya. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalamn agar eksistensi madrasah diniyah tidak sekadar sebagai pelengkap (supplement), tetapi diharapkan madrasah diniyah menjadi pilihan utama (primer) bagi masyarakat di mana pada saatnya madrasah diniyah ini setara kualitasnya dengan satuan pendidikan lainnya.
Terakhir, pilar yuridis merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya, jenis dan satuan pendidikan apapun harus tunduk pada regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan pendidikan. Peraturan Pemeriuntah Nomor 55 ini merupakan salah satu pijakan yuridis yang mengatur tentang keberadaan pendidikan madrasah diniyah formal dan pondok pesantren.
Dengan ketiga pilar di atas, pendidikan madrasah diniyah di satu pihak akan mampu mempertahankan watak aslinya (salafi) sebagai tafaqquh fiddin dan mampu mengakomodir tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan.
Di masa depan, pengelolaan dan pelaksanaan madrasah diniyah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Membentuk Badan Hukum Pendidikan yang berbentuk “Yayasan Pendidikan Madrasah Diniyah” yang didaftarkan “Notaris”.
b. Menyusun jenjang pendidikan/satuan pendidikan:]
- Madrasah Diniyah Ula
- Madrasah Diniyah Wustho
- Madrasah Diniyah Ulya
c. Secara bertahap, menyiapkan tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualitas minimal diploma empat/DIV atau Strata Satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata pelajaran yang diajarkannya.
d. Diupayakan untuk mengetrapkan Draft Standard Kurikulum Madrasah Diniyah secara bertahap dan berkesinambungan.

* Sekretaris Umum PP RMI/Purek I IAIN Sunan Ampel Surabaya. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Masa Depan Pesantren di Era Teknologi Informasi” pada hari Kamis, 9 Oktober 2008 di Aula PP Tarbiyatut Tholabah Kranji.

0 comments:

Blog Archive

Popular Posts