web 2.0

Selasa, 17 April 2012

Kiai Basjir, Barokah Minuman Ada di Tetes Terakhir

KH Ach. Mubasjir Adelan
Barokah Minuman Ada di Tetes Terakhir


Ini adalah tulisan kedua saya dalam serial “Kenangan Bersama Guru”. Mungkin tak banyak siswa yang pernah diajar beliau di sekolah. Sebab, beliau termasuk guru yang “minim” jam pelajaran. Dalam seminggu, kalau tak salah di kelas saya hanya mengajar satu atau dua kali pertemuan.

Pelajaran yang beliau ajarkan adalah ilmu faraidh. Sebuah ilmu yang tak banyak dikuasai orang. Dalam setiap pelajaran, salah satu hal yang beliau wajibkan bagi kami adalah menghafalkan nadhom faraidh (saya lupa nama kitabnya). Maksudnya, nadhom yang dibahas pada minggu ini akan menjadi kewajiban kami untuk menyetorkan hafalan di minggu depannya. Biasanya tak banyak juga hafalan nadhomnya. Terkadang 2 atau 3 bait saja. Bahkan pernah juga 1 bait.
Terkait setoran hafalan ini, ada yang khas dari Kiai Basyir. Beliau tak pernah memaksa atau menghukum murid yang tidak bisa menghafal—dengan berdiri di depan kelas, misalnya. Saat tak bisa menghafal, Kiai Basyir akan bertanya pada siswa tersebut,

“Gimana, hutang ya?” tanya beliau sambil tersenyum.
Biasanya, si murid akan segera mengiyakan. “Inggih, utang...”
Ia pun bisa kembali ke tempat duduknya dengan senyum mengembang. Hari itu terbebas dari hafalan. Namun, ia harus membayar “utang” hafalannya minggu depan.

Di minggu depannya, biasanya sebelum memulai pelajaran, Kiai Basyir akan bertanya,
“Siapa yang punya utang, ayo dibayar?” ujarnya masih dengan senyum ramah.

Segera, para siswa yang merasa punya kewajiban, akan bergiliran maju untuk “membayar” utangnya. Namun, tak banyak pula yang cuek dan seolah-olah tak punya utang. Saat temannya bertanya, ia biasanya menjawab minggu depan saja. Begitulah, bahkan ada pula yang sampai beberapa pekan tak pernah nyetor hafalan. 

Terkadang, karena saking banyaknya yang setor hafalan,  di satu hari itu kami tak mendapat tambahan pelajaran. Imbasnya, tak ada kewajiban setoran hafalan minggu depan. Tentu saja, ini hal yang menggembirakan bagi kami ketika itu. He-he-he...

Yang menarik bagi saya, Kiai Basyir tidak pernah mencatat nama-nama siswa yang punya utang hafalan. Semua dibiarkan berjalan dengan alamiah. Sepertinya, beliau hendak membangun karakter siswa yang jujur, amanah, bisa dipercaya, dan menyadari kebutuhannya terkait mata pelajaran. Bukan atas dasar paksaaan.

Hal lain yang selalu terngiang dalam benak saya adalah saat silaturahim Hari Idul Fitri di dalem beliau. Kiai Basyir selalu menyambut setiap tamunya—bahkan kami yang ketika itu masih kelas anak-anak—dengan ramah. Beliau akan menanyai kami satu persatu; nama kami, asal desa, kelas berapa, anaknya siapa. Saya merasa itu adalah penghargaan besar bagi kami.

Lalu, beliau akan “memaksa” kami mencicipi jajanan yang ada. Dan, satu lagi, beliau akan memaksa kami meneguk habis air minum dalam gelas yang disediakan. Kalau sudah minum, harus dihabiskan. Jangan sampai mubadzir. Itulah prinsip beliau.
Sebenarnya, kalau gak minum juga gak apa-apa, tapi biasanya kami pasti meminumnya.

Ketika kami minta barokah doanya, beliau pasti akan menjawab,
“Barokahnya ada di tetes terakhir minuman ini,” jawab beliau dengan senyum ramah.[KHO]

0 comments:

Blog Archive

Popular Posts